Bаnуаk реrkаrа gugаtаn perceraian diajukan оlеh іѕtrі dеngаn аlаѕаn еkоnоmі. Di mаnа ѕuаmі tidak аtаu kurаng menafkahi іѕtrі. Pаdаhаl, menafkahi іѕtrі adalah salah ѕаtu kеwаjіbаn bagi ѕuаmі.
Dі Pеngаdіlаn Agаmа Sungai Pеnuh mіѕаlnуа. Pengajuan perkara реrсеrаіаn dengan аlаѕаn karena реrѕоаlаn ekonomi mеnеmраtі urutаn kеtіgа. Dengan urutаn реrtаmа kаrеnа perselisihan dаn реrtеngkаrаn. Dаn urutаn kеduа kаrеnа ѕаlаh satu pihak mеnіnggаlkаn kеdіаmаn bersama.
Setelah ditelisik lebih lаnjut, аlаѕаn реrсеrаіаn karena реrѕеlіѕіhаn dаn pertengkaran іtu, ѕеbаgіаn bеѕаr juga karena реrѕоаlаn еkоnоmі. Lebih ѕреѕіfіk аdаlаh nаfkаh mаtеrі. Yaitu kebutuhan раngаn, dаn sandang untuk sehari-hari.
Artіnуа, kеlаlаіаn dаlаm hаl nafkah, dі mana nafkah аdаlаh salah ѕаtu kewajiban suami tеrhаdар іѕtrі, mеnjаdі ѕаlаh satu fаktоr уаng cukup ѕіgnіfіkаn. Dаlаm kаіtаnnуа dеngаn аlаѕаn perceraian.
Dі satu ѕіѕі, mеnurut Undаng-Undаng, “Pеrkаwіnаn adalah іkаtаn lahir bаtіn antara ѕеоrаng рrіа dаn seorang wаnіtа ѕеbаgаі ѕuаmі іѕtrі dengan tujuаn mеmbеntuk kеluаrgа atau rumаh tangga уаng bahagia dan kеkаl berdasarkan Kеtuhаnаn Yаng Mаhа Eѕа.”
Salah satu poin penting yang ditekankan dalam pengertian perkawinan yang diberikan pasal tersebut adalah kata “kekal.” Yang artinya, suatu perkawinan dilakukan untuk seterusnya. Karena itu pula, sebuah perkawinan dengan tujuan untuk perceraian tidak dibenarkan.
Dari situ pula, perceraian merupakan jalan terakhir. Ketika sebuah rumah tangga tidak mungkin lagi disatukan. Dan jika disatukan justru akan memberikan dampak negatif terhadap salah satu, atau kedua pihak.
Lalu, bagaimana rumah tangga yang sudah dilanda masalah ekonomi, terutama soal nafkah itu dipertahankan? Dalam hal ini, maka salah satu solusinya adalah dengan mengajukan gugatan nafkah.
Daftar isi
Kewajiban Suami dan Istri
Dalam sebuah perkawinan berlaku hak dan kewajiban. Apakah itu untuk suami atau istri. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang. Sementara itu, hak adalah sesuatu yang harusnya didapatkan karena adanya kewajiban pada orang lain untuk mengerjakan sesuatu itu.
Jadi, hak cenderung berbanding lurus dengan sebuah kewajiban. Begitu juga sebaliknya. Sebuah kewajiban berbanding lurus dengan hak. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mulai dari Pasal 30 sampai Pasal 34. Kemudian juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 83.
Dalam UU. No.1 Tahun 1974 Pasal 30, salah satu kewajiban suami istri adalah menegakkan rumah tangga. Disebutkan bahwa, “Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.”
Senada dengan itu adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 ayat (1) yang menyebutkan bahwa, “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.”
Kemudian, memiliki tempat kediaman tetap adalah kewajiban suami istri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 32 yang menyatakan bahwa, “(1) Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) Pasal ini ditentukan oleh suami-istri bersama.”
Hal ini juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 78 bahwa, “(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami istri bersama.”
Tempat kediaman bukan berarti harus rumah milik sendiri. Bisa jadi, mereka tinggal di rumah orang tua salah satu pihak. Atau menyewa sebuah tempat tinggal untuk tempat tinggal bersama.
Kemudian, kewajiban suami istri juga adalah untuk saling mencintai, saling menghormati, saling setia, dan saling membantu satu sama lain. Ketentuan ini bisa dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 33 yang menyatakan bahwa, “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
Hal ini senada dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.”
Kemudian terkait anak. Jika mereka sudah mempunyai anak, mengasuh dan memelihara anak adalah kewajiban suami istri. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.”
Kemudian, kewajiban suami istri adalah menjaga kehormatan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 ayat (4) bahwa, “Suami istri wajib memelihara kehormatannya.”
Bagaimana posisi hak dan kewajiban ini? Posisinya adalah berimbang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UU No1 Tahun 1974 bahwa “(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah Kepala Keluarga dan istri ibu rumah tangga.”
Hal ini juga dipertegas dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 79 yang menyatakan bahwa, “(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.”
Bagaimana jika suami istri melalaikan kewajibannya? Jika suami istri melalaikan kewajibannya, maka dapat diajukan gugatan kepada Pengadilan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (3) bahwa, “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”
Hal ini senada dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 77 ayat (5) yang menyatakan bahwa, “Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.”
Sampai di sini, kita bisa pahami bahwa suami dan istri punya kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan bersama. Dan jika kewajiban itu terlalaikan, maka bisa diajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Baca juga : Contoh form permohonan perwalian anak
Kewajiban Suami
Dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa kewajiban suami adalah untuk melindungi dan memberikan keperluan hidup sesuai dengan kemampuannya. Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Satu hal yang penting dari Pasal 32 tersebut adalah “sesuai dengan kemampuannya.” Artinya, dalam hal ini, istri harus mempertimbangkan konsep kewajaran, dan juga kondisi dan kemampuan suami.
Juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (2) bahwa, “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Kemudian, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (1) disebutkan bahwa kewajiban suami adalah memberikan bimbingan. Disebutkan bahwa, “Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.”
Kemudian, memberikan pendidikan agama. Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (3) bahwa, “Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.”
Kewajiban Suami Tentang Nafkah
Selain kewajiban-kewajiban di atas, kewajiban suami tentang tentang nafkah disebutkan secara spesifik dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (4) bahwa, “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; c. biaya pendidikan bagi anak.”
Masih terkait dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (5) menyebutkan bahwa, “Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.”
Bisakah istri membebaskan kewajiban suami dalam hal nafkah, kiswah, sakan, dan biaya rumah tangga? Bisa. Jika melihat kondisi suami dan kemudian istri mau membebaskan kewajiban ini bisa saja. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (6) yang menyebutkan bahwa, “Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.”
Ayat (4) huruf a dan b yang dimaksud adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat Ayat (4) huruf a dan b. Yaitu bahwa kewajiban suami terhadap istri di antaranya adalah memberikan memberikan nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
Namun, kewajiban-kewajiban di atas bisa gugur jika istri nusyuz. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat (7) yang menyatakan bahwa, “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.” tentang Nusyuz ini akan kita bicarakan tersendiri.
Tempat Kediaman
Bagian ini akan mengurai lebih detail tentang tempat kediaman sebagai salah satu kewajiban suami terhadap istri. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 ayat (1) menyebutkan bahwa, “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.”
Bagaimana kriteria tempat kediaman yang harus diberikan? Tempat tinggal yang disediakan harus layak. Sebagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.”
Selain layak. Tempat tinggal juga harus aman. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 ayat (3) menyebutkan bahwa, “Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.”
Kemudian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 81 ayat (4) menyebutkan bahwa, “Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.”
Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Satu Orang Ketentuan ini disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 82 yang pada intinya suami berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang. Dan jika istri-istri itu ikhlas, mereka bisa ditempatkan dalam satu kediaman.
Secara lengkap Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 82 menyebutkan bahwa, “(1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.”
Kewajiban istri
UU No.1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (2) berbicara tentang kewajiban istri. Disebutkan bahwa, “istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.”27 Jadi, nafkah adalah kewajiban suami. Sementara itu, mengatur urusan rumah tangga adalah kewajiban istri. Pada dasarnya begitu.
Kewajiban utama istri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami. Tentu dalam lingkup yang dibenarkan oleh Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 83 ayat (1) disebutkan bahwa, “Kewajiban utama bagi seseorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.”
Kemudian, mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baik. Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 83 ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.”
Nusyuz
Relevansi konsep nusyuz dengan diskusi kita ini adalah, bahwa nusyuz menghalangi istri untuk menghalangi istri untuk mendapat hak-haknya. Yang artinya, suami tidak perlu menunaikan kewajiban kepada istri. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban nafkah.
Nusyuz adalah durhaka atau membangkang. Dalam KHI, jika istri tidak melakukan kewajiban, maka dapat dianggap nusyuz. Konsekuensi dari nusyuz adalah bahwa suami terlepas kewajibannya untuk memberikan nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 84 ayat (1), (2), dan (3) yang menyatakan bahwa, “(1) istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah (2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah istri nusyuz.”
Kemudian, ada atau tidaknya nusyuz harus didasarkan atas bukti yang sah, Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 84 ayat (4) yang menyatakan bahwa, “Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah. Jika memang terbukti, maka baru berlaku ketentuan bahwa istri tidak berhak atas nafkah.
Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan, bahwa suami punya kewajiban kepada istri tentang nafkah. Apakah itu kiswah, tempat kediaman, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. Kewajiban itu gugur jika istri nusyuz. Kemudian, kewajiban-kewajiban itu, jika tidak tidak dilaksanakan, bisa digugat oleh istri di pengadilan.
Kewenangan Pengadilan Tentang Gugatan Nafkah Istri
Bicara tentang kewenangan Pengadilan Agama, kita bisa merujuk pada Pasal 49 Huruf (a) UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah, dan i. ekonomi syari’ah.”
Dalam penjelasan pasal tersebut, khususnya tentang huruf (a) dikatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: …., Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri, …….”
Dalam penjelasan tersebut, ada sekitar 22 jenis perkara yang dapat diperiksa di Pengadilan Agama. Yang salah satunya adalah “gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri.” Di mana, nafkah istri merupakan kewajiban suami terhadap istri. Yang artinya, jika suami lalai terkait nafkah, maka pengadilan agama berwenang menerima, memeriksa, dan mengadili gugatan tersebut.
Syarat Formil dan Meteril Gugatan Nafkah
Memang, di dalam undang-undang tidak ditetapkan secara tegas syarat-syarat formil surat gugatan. Namun, pada perkembangannya, ada semacam konsensus tentang syarat-syarat formil tersebut.
Beberapa hal yang telah disepakati sebagai syarat formil di antaranya adalah diajukan kepada Ketua Pengadilan, diberi tanggal dan ditandatangani Penggugat atau kuasanya, memuat identitas para pihak, memuat posita dan petitum.
Dengan melihat beberapa ketentuan itu, syarat formil surat gugatan nafkah sama halnya dengan gugatan perdata pada umumnya. Yang artinya, syarat-syarat formil gugatan nafkah tidak berbeda dengan gugatan perdata lainnya.
Adapun syarat materil adalah keterkaitan petitum dengan posita. Di dalam posita harus disebutkan secara kronologis tentang pernikahan tersebut. Termasuk di mana mereka membina rumah tangga setelah menikah. Baru kemudian disebutkan bahwa kemudian, suami tidak memberi nafkah sejak kapan, hingga gugatan tersebut diajukan.
Kemudian, di dalam petitum pertama memohon kepada majelis hakim agar mengabulkan gugatan penggugat. Dan diikuti dengan petitum kedua berupa detail gugatan nafkahnya. Dari sejak kapan hingga bulan apa. Termasuk besaran nafkah yang dituntut per bulannya. Dan diikuti dengan jumlah nilai keseluruhan yang digugat.
Kemudian, petitum ketiga tentang biaya perkara. Memohon kepada majelis hakim agar membebankan biaya perkara menurut hukum. Baru kemudian petitum subsidair. Yang berbunyi “jika majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.”
Bisa juga disisipkan dalam petitum kedua agar menyatakan suami lalai dalam memberi nafkah. Baru kemudian disusul dengan petitum ketiga tentang perincian nilai gugatan. Baru petitum keempat tentang biaya perkara. Artinya, dengan terbuktinya fakta itu, bahwa suami lalai, majelis hakim mempunyai dasar yang lebih kuat untuk menghukum Tergugat untuk membayar nafkah.
Dengan demikian, ada kesesuaian antara posita yang berupa uraian kronologis itu, dengan bunyi tuntutan. Yaitu tentang nafkah. Dengan adanya kesesuaian itu, maka surat gugatan telah memenuhi syarat materil.
Penutup
Dari uraian di atas. Kita mafhum. Bahwa nafkah menjadi salah satu kewajiban suami terhadap istri. Namun, kewajiban itu menurut kemampuan. Meski dalam hal ini, istri bisa membebaskan kewajiban tersebut. Dalam kasus di mana suami lalai dalam menjalankan kewajiban ini, istri dapat mengajukan gugatan nafkah ke Pengadilan Agama.
Kita tahu, bahwa perceraian merupakan jalan paling akhir. Mana kala sebuah rumah tangga tidak lagi dapat di pertahankan. Yang artinya, ada solusi-solusi alternatif selain perceraian. Dari situ, kiranya gugatan nafkah dapat menjadi solusi alternatif selain perceraian. Terutama jika perselisihan antara suami istri terjadi karena kelalaian suami terkait nafkah.
Dafta Pustaka
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Oleh: M. Khusnul Khuluq, S.Sy., M.H.
Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh (PTA Jambi)
Email: muhammadkhusnul38@gmail.com