Mаhkаmаh Agung melalui Perma 3/2018 tentang Administrasi Pеrkаrа dі Pengadilan Sесаrа Elеktrоnіk (E-Court) mulai mеngаdорѕі sistem реrаdіlаn еlеktrоnіk уаng sudah tеrlеbіh dаhulu dіtеrарkаn pada beberapa nеgаrа ѕереrtі Mаlауѕіа dаn Sіngарurа. Hal іnі mеruраkаn bаgіаn dari рrоgrаm Mаhkаmаh Agung mеnjаdі lеmbаgа реrаdіlаn bеrbаѕіѕ tеknоlоgі. Dіаdорѕіnуа tеknоlоgі dаlаm praktik persidangan diharapkan proses реrѕіdаngаn mеnjаdі lebih trаnѕраrаn, ѕеdеrhаnа, сераt dаn berbiaya rіngаn. Aѕаѕ tеrѕеbut dulunya ѕаngаt ѕulіt dilaksanakan kаrеnа sistem hukum асаrа perdata уаng digunakan аdаlаh hukum асаrа wаrіѕаn Bеlаndа ѕереrtі Hеrzіеn Inlandsch Rеglеmеnt (HIR), Rеglеmеnt vооr de Buitengewesten (RBg) dаn Rеglеmеn op dе Rесhtvоrdеrіng (Rv) уаng ѕаmа ѕеkаlі bеlum diperbaharui mеngіkutі perkembangan zaman.
Mеѕkірun реnggunааn ѕіѕtеm еlеktrоnіk di реngаdіlаn bеlum secara masif dіbеrlаkukаn, karena beberapa kendala ѕереrtі kеmаmрuаn реngаdіlаn untuk mengoperasikan sistem, sumber daya mаnuѕіа pengadilan уаng bеlum banyak mеnguаѕаі informasi tеknоlоgі dаn tmаѕіh mіnіmnуа kеmаmрuаn masyarakat tеrhаdар tеknоlоgі terutama mаѕуаrаkаt реdеѕааn, namun lаngkаh tеrѕеbut lаmbаt lаun аkаn tеrаtаѕі ѕеіrіng bеrkеmbаngnуа іlmu реngеtаhuаn dаn реrkеmbаngаn tеknоlоgі уаng ѕааt ini mudah dіаkѕеѕ oleh masyarakat.
Sebelum adanya E-Court dan E-Litigasi, alat bukti elektronik terlebih dahulu diakui dan menjadi tambahan dari jenis-jenis bukti di persidangan.1 Alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 1886 KUHPerdata yang menjelaskan jenis-jenis alat bukti dalam persidangan perdata adalah: a) alat bukti surat; b) alat bukti saksi; c) alat bukti persangkaan; alat bukti pengakuan; dan d) alat bukti sumpah, ditambah alat buiti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut mengatur bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian alat bukti elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lainnya.
Kemajuan tersebut harusnya dapat diaplikasikan secara holistik tidak hanya dalam proses persidangan maupun pembuktian saja, melainkan juga harus dipraktikkan pada tiap-tiap tahapan yang menuntut perlunya bukti terkait benar atau tidaknya kejadian tersebut. Sebagai contoh dalam praktik persidangan cerai talak di Pengadilan Agama, di mana pemohon dihukum untuk membayar sejumlah mut’ah dan nafkah ‘iddah berdasarkan Pasal 41 huruf (c) UU 1/1974 tentang Perkawinan dan Pasal 149 KHI yang mengatur bahwa dalam perkara cerai talak suami memiliki kewajiban terhadap isteri (selama tidak nusyuz) untuk membayar sejumlah barang atau uang dan berdasarkan Perma 3/2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yang dijabarkan dalam SEMA 1/2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017, mengatur bahwa pemberian nafkah ‘iddah dan mut’ah berupa uang tersebut harus dilakukan sebelum pelaksanaan ikrar talak.
Pada praktiknya, terutama saat termohon tidak hadir pada saat ikrar talak dilaksanakan, pengadilan dapat saja memanggil kembali termohon, dan jika termohon tetap tidak hadir maka ikrar tetap dilaksanakan dan harus ada bukti pemohon telah menjalankan putusan sebelumnya berupa kuitansi yang menerangkan telah diberikannya sejumlah uang mut’ah dan ‘iddah pada termohon. Bukti kuitansi dalam hal ini justru mudah dipalsukan, dan bukti pemohon telah menjalankan amar menjadi bias karena tidak ada pemeriksaan lanjut mengenai keaslian atau kebenaran terkait pelaksanaan amar mut’ah dan iddah tersebut.
Terdapat dua masalah yang lahir pada praktik tersebut; Pertama, amar putusan yang memerintahkan pemohon untuk memberikan nafkah mut’ah dan ‘iddah tidak benar-benar dapat dijalankan. Kedua, tidak tercapainya tujuan dari hukum itu sendiri, terlebih saat hakim apatis terhadap keabsahan pelaksanaan amar putusan.
Daftar isi
Pembahasan
1. Pembuktian dan Tujuan Pembuktian
Kajian aspek teoritis pembuktian dalam perdata kalah tenar dibandingkan dengan kajian bukti-bukti dalam perkara pidana, hal ini beranjak dari sifat pembuktian dalam perkara pidana yang lebih aktif dan meteriil dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata yang bersifat formil. Oleh sebab itu teori-teori pembuktian dalam perkara perdata lebih banyak mendefinisikan jenis alat bukti daripada mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pembuktian secara umum.
Beranjak dari hal tersebut, pembuktian dalam terminologi perdata adalah proses untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata. Kemudian Adrian Keane dan Paul McKeown membedakan definisi pembuktian dan hukum pembuktian sebagai berikut:
“Evidence is information by which facts tend to be proved, and the law of evidence is that body of law and discretion regulating the means by which facts may be proved in both courts of law and tribunals and arbitrations in which the strict rules of evidence apply”.
Menurut Abdul Manan, pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat bukti yang telah ditetapkan dengan undang-undang.
Sedangkan alat bukti menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali menyatakan “apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu merupakan alat bukti, tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak ditetapkan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak di persidangan”.
Menurut Yahya Harahap, alat bukti (bewijsmiddel) merupakan suatu hal berupa bentuk atau jenis yang dapat membantu dalam hal memberikan keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan.
Dapat dipahami, jika alat bukti dalam perdata merupakan informasi baik karena sifatnya sebagai alat bukti maupun karena dijadikan sebagai alat bukti yang digunakan untuk memperkuat dalil-dalil gugatan. Kedudukan alat bukti harus sejalan dengan tujuan dari pembuktian itu sendiri. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar -benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.
Alat bukti dari sifatnya tidak terbatas pada tahapan pembuktian semata, beberapa tahapan dalam proses acara persidangan, terdapat tahapan-tahapan di luar tahapan pembuktian yang memerlukan bukti. Sebagai contoh saat eksekusi tidak dilaksanakan secara sukarela, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan eksekusi harus berdasarkan bukti yang menjelaskan atau menerangkan jika pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan. Hal ini yang disebut alat bukti di luar pembuktian. Alat bukti tersebut menjadi bukti karena sifatnya bukan karena diajukan atau tidak diajukan dalam tahapan pembuktian.
2. Pembuktian dalam Cerai Talak
Objek kajian dalam artikel ini adalah pembuktian dalam cerai talak. Dalam perkara tersebut, bukti-bukti biasanya meliputi bukti surat-surat dan saksi-saksi, namun dalam pemeriksaan bukti-bukti tersebut tidak terbatas pada fakta yang menjadi dalil posita pemohon untuk menceraikan termohon. Dalam cerai talak pemohon memiliki kewajiban terhadap termohon untuk memberikan nafkah selama ‘iddah, mut’ah dan nafkah anak, dalam kondisi tertentu nafkah madliyah juga lazim terdapat dalam perkara ini jika termohon mengajukan gugatan rekonvensi. Pemberian nafkah tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan pemohon, sehingga tidak memberatkan pemohon dalam melakukan kewajiban.
Berkaitan dengan kemampuan pemohon, majelis hakim secara ex officio memeriksa kemampuan pemohon berdasarkan pekerjaan yang dilakukan atau besaran penghasilannya dan jika pemohon merupakan pekerja penerima upah, majelis hakim dapat meminta slip gaji sebagai dasar pertimbangan majelis dalam menetapkan jenis dan besaran nafkah. Dalam ranah ini, slip gaji bukan merupakan alat bukti karena bentuknya, melainkan alat bukti karena sifatnya, karena slip gaji tersebut hanya digunakan sebagai bahan pertimbangan mengenai kemampuan bukan mengenai dalil posita, kecuali ada gugatan rekonvensi dari termohon yang menolak jumlah tertentu dengan mengajukan slip gaji sebagai bukti untuk memperkuat dalil rekonvensinya.
Dalam hal memeriksa kemampuan pemohon, di sini harus dipahami asas passivity of the judge atau lijdelijkheid tidak dapat diterapkan secara absolut, karena pemeriksaan ini lebih kompleks daripada pemeriksaan dalil posita di mana hakim dapat merujuk langsung pada bukti tertulis atau saksi-saksi. Sebagai contoh, jika pemohon bukan pekerja penerima upah yang sumber penghasilannya beragam dan tidak tercatat, maka diperlukan penelusuran lebih. Bahkan dalam hukum acara perdata (code of civil procedure) Belanda sendiri, asas passivity of the judge sudah tidak lagi digunakan, dan hakim memiliki kewenangan lebih luas untuk menginvestigasi mengenai perkara, sebagaimana pendapat C.H. van Rhee sebagai berikut:
“Like so many other jurisdictions in Europe, the Netherlands has embraced the concept of judicial case management in civil matters (especially since the reforms of the Code of Civil Procedure in 2002). This means that the traditional Dutch principle of the ‘passivity of the judge’ (in Dutch: lijdelijkheid) in civil matters has faded away to a considerable extent”.
Dengan demikian, dalam pemeriksaan ini, hakim dapat menjadi aktif untuk menemukan batas kesanggupan pemohon dalam melakukan kewajibannya, terlebih lagi jika kesanggupan tersebut digugat rekonvensi oleh termohon. Pembuktian dalam perkara cerai talak tidak hanya terbatas pada pemeriksaan kesanggupan pemohon saja, melainkan bagaimana pembuktian pemohon sudah menjalankan putusan untuk membayar nafkah ‘iddah dan mut’ah pada termohon. Sebagaimana diatur dalam Perma 3/2017 dan SEMA 1/2017, pemohon menjalankan putusan tersebut sebelum pengucapan ikrar talak dan konsekuensi jika tidak menjalankan putusan tersebut, termohon dapat saja mengajukan permohonan eksekusi atau pengucapan ikrar talak tidak dapat dilaksanakan dan dalam waktu 6 bulan jika ikrar talak tidak dilaksanakan, maka perkara tersebut dianggap gugur berdasarkan pasal 70 ayat 6 UU 7/1989.
Dalam praktiknya, pembuktian bahwa pemohon sudah menjalankan putusan dapat dilihat dari pengakuan termohon jika termohon hadir di persidangan saat pengucapan ikrar talak, namun masalah muncul jika termohon tidak hadir di persidangan di mana pemohon hanya memiliki bukti kuitansi pembayaran yang dijadikan bukti bahwa putusan sudah dilaksanakan. Di era modern saat ini, menjadikan kuitansi sebagai bukti tunggal pelaksanaan putusan dalam cerai talak dapat dikatakan tidak relevan, mengingat potensi manipulasi dan pemalsuan kuitansi dapat saja terjadi, dan banyak hakim menilai bahwa bukti kuitansi sudah dianggap cukup untuk menjadi dasar pemohon sudah melaksanakan kewajibannya, paradigma ini tentu saja bertentangan dengan tujuan dari putusan itu sendiri, di mana putusan mengenai kewajiban pemohon membayar nafkah ‘iddah dan mut’ah bertujuan agar termohon mendapatkan haknya pasca perceraian dan hal ini menjadi tujuan dari putusan itu sendiri, sehingga tidak tepat jika hanya menekankan pada bukti kuitansi tanpa mengetahui kebenaran dari pelaksanaan putusan tersebut.
Baca juga :
- Cara Membuat Permohonan Perwalian Terhadap Anak Kandung Oleh Orang Tua
- Gugatan Nafkah Sebagai Alternatif Solusi Selain Perceraian
- Plurium Litis Consortium dalam Permohonan Penetapan Ahli Waris
3. Urgensi Bukti Elektronik dalam Perkara Cerai Talak
Mut’ah dan ‘iddah dalam perkara cerai talak verstek masih banyak perdebatan mengenai pelaksanaannya. Sebagian pengadilan agama tidak menghukum pemohon untuk memberikan mut’ah dan ‘iddah kepada termohon karena termohon tidak pernah hadir di persidangan, sehingga ditafsirkan bahwa termohon tidak menginginkan mut’ah dan ‘iddah yang menjadi haknya. Namun pengalaman penulis selama menjadi mediator dalam perkara cerai talak, tidak satupun termohon mengetahui bahwa termohon memiliki hak akibat perceraian dalam cerai talak, oleh sebab itu berdasarkan ketidaktahuan termohon, maka penulis berpendapat tidak tepat untuk menghilangkan kesempatan termohon untuk mendapatkan hak-haknya termasuk dalam perkara cerai talak verstek.
Tidak ada ketentuan yang tegas apakah tidak hadirnya termohon di persidangan dapat menghilangkan haknya atas mut’ah dan ‘iddah. Dalam Pasal 41 huruf (c) UU 1/1974 tidak ada satu prasa pun yang mengatur bahwa mut’ah dan ‘iddah tidak diberikan pada isteri yang tidak datang ke persidangan, dan Pasal 149 KHI mengatur secara tegas pada huruf a di mana satu-satunya penghalang mut’ah adalah jika isteri tidak digauli (qobla dukhul) kemudian pada huruf b juga mengatur satu-satunya alasan untuk tidak memberikan nafkah ‘iddah pada isteri adalah jika bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau durhaka (nusyuz) dan dalam keadaan tidak hamil, sedangkan talak yang yang dijatuhkan kepada termohon dalam putusan pengadilan adalah talak raj’i yang artinya tidak memenuhi unsur hilangnya hak-hak termohon terhadap nafkah ‘iddah serta tidak ada satu pendapatpun yang mengatakan bahwa tidak hadirnya isteri (termohon) ke persidangan dikategorikan sebagai tindakan nusyuz.
Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis berpendapat tidak hadirnya termohon ke persidangan tidak secara otomatis menghilangkan hak termohon terhadap mut’ah dan ‘iddah, satu-satunya pertimbangan logis untuk tidak memberikan hak termohon adalah karena pemohon tidak sanggup secara ekonomi dan hal ini harus diperiksa secara benar-benar oleh majelis hakim sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini didasarkan pada pasal 41 huruf c UU 1/1974 di mana terdapat prasa “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri”. Prasa “dapat” dimaknai opsional sesuai dengan pertimbangan majelis hakim.
Berkaitan dengan kewajiban pemohon untuk memberikan mut’ah dan ‘iddah pada termohon, seringkali ditemukan bahwa pemohon hanya memiliki bukti berupa kuitansi bermaterai yang menyatakan telah menjalankan kewajibannya dan bukti demikian di era teknologi sangat tidak relevan dan butuh bukti tambahan. Tentu sebagian pihak berpendapat bahwa pengadilan perdata yang bersifat pasif menjadi pembenar atas peristiwa tersebut, padahal sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam keadaan tertentu hakim tidak selalu bersifat pasif dalam praktik persidangan perdata seperti aktifnya hakim yang lahir dari asas et aequo et bono dan Hakim berkewajiban melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit.10 Kemudian, dalam hukum acara perdata yang ditekankan adalah pemenuhan hak terhadap pihak, tidak terbatas pada kepentingan satu pihak semata, terlebih mengenai mut’ah dan ‘iddah, hal ini bersifat wajib jika pemohon dianggap mampu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim dapat menggunakan perkembangan teknologi yang umum seperti video atau foto yang menjadi penjelasan tambahan tentang pelaksanaan kewajiban pemohon terhadap termohon sehingga tujuan dari aturan yang mewajibkan pemohon untuk memberikan mut’ah dan ‘iddah dapat terpenuhi baik secara formil maupun materilnya.
Pemohon selain menunjukkan kuitansi harus pula menunjukkan bukti tambahan seperti video atau foto yang menerangkan jika kewajiban sudah dilaksanakan, dan hal ini menjadi terobosan hukum dalam hukum acara perdata yang kuno dan lebih memberikan kepastian serta pemenuhan hak bagi termohon dalam perkara cerai talak.
Penutup
Mut’ah dan nafkah selama ‘Iddah merupakan kewajiban suami terhadap isteri pasca perceraian, hal ini diatur dalam pasal 41 huruf c UU 1/1974 dan Pasal 149 KHI. Kewajiban tersebut dapat batal jika talak dijatuhkan pada isteri yang tidak digauli (qobla dukhul) kemudian pada untuk nafkah ‘iddah jika bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau durhaka (nusyuz) dan dalam keadaan tidak hamil. Di luar ketentuan tersebut, mengenai pemberian mut’ah dan nafkah ‘iddah mengalami perbedaan pendapat dan sebagian menjadikan alasan tidak hadirnya isteri di persidangan dapat menghilangkan haknya tanpa mempertimbangkan ketidaktahuan isteri terhadap hak-haknya tersebut. Namun sebagian tetap menghukum suami untuk melaksanakan kewajibannya pasca perceraian dengan mut’ah dan nafkah ‘iddah.
Berkaitan dengan pemberian mut’ah dan nafkah ‘iddah, satu-satunya bukti adalah kuitansi yang dapat saja dipalsukan oleh pemohon. Hal ini kemudian menjadi permasalahan terhadap proses supremasi hukum itu sendiri, di mana peraturan terkait pemberian mut’ah dan nafkah ‘iddah bertujuan untuk memperjuangkan hak termohon dalam cerai talak dan tujuan peraturan tersebut harus dicapai bukan hanya sekedar melaksanakan peraturan tanpa ada upaya untuk memastikan aturan tersebut berjalan sesuai tujuannya. Salah satu gagasan untuk memastikan pemohon melaksanakan kewajibannya terdapat termohon adalah dengan memberikan keterangan tambahan berupa keterangan elektronik seperti video atau foto yang saat ini sudah bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat. Gagasan ini dapat juga menjadi penemuan hukum (rectvinding) hakim di tengah kejumudah hukum acara perdata Belanda yang kuno bahkan di Belanda sendiri sudah direvisi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Kencana, Jakarta.
Achmad Ali, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta.
Adrian Keane, Paul McKeown, 2014, The Modern Law of Evidence, Oxford University Press, New York.
Bagir Manan, “Menjadi Hakim Yang Baik”, Majalah Varia Peradilan No. 255, Februari 2007.
C.H. van Rhee, 2015, Evidence In Civil Procedure In The Netherlands: Tradition And Modernity, Faculty of Law, Maastricht University.
Extrix Mangkepriyanto, 2019, Pidana, ITE dan Perlindungan Konsumen, Guepedia, Depok.
M. Dahlan R. 2015, Fiqih Munakahat, deepublish, Yogyakarta.
M. Yahya Harahap, 2017, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
Nuriel Amiriyyah, 2015, “Nafkah Madliyah Anak Pasca Perceraian: Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 608/K/AG/2003”, Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 6 No. 1.
Penulis :
AGUS ADHARI, S.H., LL.M
(Hakim Pengadilan Agama Kuala Kurun)
Jl. Tjilik Riwut, Kel. Kuala Kurun, Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. adharyagus@gmail.com