Plurium Litis Consortium dalam Permohonan Penetapan Ahli Waris

Adа уаng menyangka bаhwа kurang ріhаk аtаu plurium lіtіѕ соnѕоrtіum hаnуа dapat tеrjаdі dalam реrkаrа kontensius (gugatan) saja. Pаdаhаl, kurang pihak jugа dapat tеrjаdі раdа perkara vоluntаіr (реrmоhоnаn). Perkara vоluntаіr yang роtеnѕіаl tеrjаdі kurаng ріhаk аdаlаh Pеrmоhоnаn Pеnеtараn Ahlі Wаrіѕ (PPAW). Dаlаm реrkаrа kеwаrіѕаn kоntеnѕіuѕ, jіkа gugatan kurаng ріhаk, mаkа реrkаrа tеrѕеbut harus dіnуаtаkаn tіdаk dараt diterima (niet оntvаnkеlіjk verklaart). Lаlu bаgаіmаnа jika kurаng pihak tеrjаdі dаlаm реrkаrа voluntair? Aраkаh реrkаrа tеtар dараt dіkаbulkаn, mengingat penetapan perkara vоluntаіr hаnуа mеngіkаt pada pemohon ѕаjа (ex-parte) dаn tіdаk mеlеkаt nebis іn idem? Atаu jugа hаruѕ dinyatakan tіdаk dapat dіtеrіmа, karena рlurіum lіtіѕ соnѕоrtіum, ѕеhіnggа реrmоhоnаn еrrоr іn реrѕоnа? Artіkеl іnі berusaha mеnjаwаb реrtаnуааn tеrѕеbut. Mеtоdе реnеlіtіаn уаng digunakan dаlаm аrtіkеl ini adalah уurіdіѕ-nоrmаtіf. Pеndеkаtаn уаng dіраkаі аdаlаh реndеkаtаn perundang-undangan (ѕtаtutе арrоасh) dаn реndеkаtаn kоnѕерtuаl (соnсерtuаl aproach). Sеdаngkаn jenis реnеlіtіаnnуа аdаlаh penelitian kepustakaan (lіbrаrу rеѕеаrсh). Hаѕіl реnеlіtіаnnуа аdаlаh: bеrdаѕаrkаn реrѕреktіf aturan perundang-undangan, tujuаn hukum, fungѕі hukum, dan asas hukum, perkara kеwаrіѕаn уаng bеrѕіfаt vоluntаіr (PPAW) jugа hаruѕ mеndudukkаn seluruh аhlі wаrіѕ yang bеrhаk ѕеbаgаі ріhаk (bаса: pemohon). Jіkа tidak, hаkіm dараt mеmbеrі аdvіѕ реrbаіkаn реrmоhоnаn. Nаmun jіkа аrаhаn реrbаіkаn tidak ditindaklanjuti, mаkа permohonan hаruѕ dinyatakan tіdаk dapat dіtеrіmа (niet ontvankelijk vеrklааrt).

Pendahuluan

a) Latar Belakang

Kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Permohonan Penetapan Ahli Waris diamanatkan secara tegas oleh Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:

“Yang disebut dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris”.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, jenis layanan Pengadilan Agama yang digunakan sebagai instrumen untuk menetapkan ahli waris dan bagian (porsi) waris di luar sengketa dilakukan melalui lembaga Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan (P3HP). Dasar hukum P3HP terdapat dalam Pasal 107 angka (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:

“(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a RIB, Stb 1941 No.44, mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama”;

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, meski tidak ada diksi tegas yang menghapuskan lembaga P3HP, namun berdasarkan asas lex posteriori derogate lex periori, maka Pasal 107 angka (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang mengatur tentang P3HP harus dinyatakan sudah tidak dapat diberlakukan lagi. Konsekuensinya: lembaga penyelesaian penetapan ahli waris hanya dapat dilakukan lembaga yang diatur oleh Penjelasan Pasal 49 huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 2006 yaitu: Permohonan Penetapan Ahli Waris.

Aturan perundang-undangan seringkali tidak lengkap. Dalam konteks ini, Penjelasan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak mengatur aspek formil (tata cara) pengajuan perkara PPAW. Oleh sebab itu, diperlukanlah penemuan hukum (rechtsvinding).

Selama ini terdapat 3 (tiga) gelombang pendapat terkait dapat dikabulkan atau tidaknya Permohonan Penetapan Ahli Waris (PPAW) yang diajukan oleh sebagian ahli waris saja, tanpa melibatkan ahli waris yang berhak lainnya.

Pendapat pertama: dapat ditetapkan, meskipun tidak semua ahli waris yang berhak bertindak sebagai pihak.

Pendapat kedua: dapat ditetapkan, meskipun tidak semua ahli waris yang berhak bertindak sebagai pihak, dengan syarat ahli waris yang tidak bertindak sebagai pihak harus dicantumkan dalam posita dan petitum permohonan.

Pendapat ketiga: permohonan yang kurang pihak harus dinyatakan tidak dapat diterima karena plurium litis consortium. Untuk argumen masing-masing pendapat, serta pendapat mana yang paling rajih, akan diuraikan dalam Bab Pembahasan.

b) Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang yang telah di deskripsikan di atas, penelitian ini merumuskan dua pokok masalah:

1. Dalam perkara Permohonan Penetapan Ahli Waris, apakah seluruh ahli waris yang berhak harus bertindak sebagai pihak (baca: pemohon)?

2. Bagaimana sikap ideal hakim saat memeriksa Permohonan Permohonan Penetapan Ahli Waris, jika diketahui permohonan tersebut kurang pihak?

c) Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mengkaji norma hukum dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian yuridis normatif juga meneliti kaidah hukum dan filsafat hukum. Penelitian ini mengkaji tentang posisi wajib atau tidaknya seluruh ahli waris yang berhak bertindak sebagai pihak dalam PPAW, perspektif norma hukum dan filsafat hukum.

Terdapat dua pendekatan dalam penelitian ini: pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan konseptual (conceptual aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji masalah secara normatif—baik dari perspektif ius constitutum maupun ius constituendum. Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji kondisi ideal dan tujuan pokok pelibatan seluruh ahli waris yang berhak dalam Permohonan Penetapan Ahli Waris.

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), sehingga sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang telah tersedia, meliputi: dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian dan lain sebagainya.

Sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif. Bahan hukum primer ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selanjutnya diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua kajian hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Bahan sekunder paling utama dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lain seputar kewenangan pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara Permohonan Penetapan Ahli Waris.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum, kamus bahasa, kamus ilmiah, dan ensiklopedia.

Pembahasan

a. Spirit Transformasi: dari Fatwa Waris ››› P3HP ››› PPAW

Dalam sejarah perkembangan Peradilan Agama, dikenal 3 (tiga) jenis produk penyelesaian kewarisan di luar sengketa:

1. fatwa waris (produk dari permohonan fatwa waris),

2. akta waris atau akta komparisi (produk dari P3HP),

3. penetapan atau beschikking waris (produk dari PPAW).

Tiga prosedur penyelesaian tersebut tidak terlepas dari sejarah kompetensi absolut Peradilan Agama itu sendiri.

Pertama: Fatwa Waris. Fatwa Waris adalah adalah bentuk penyelesaian waris secara sukarela. Pemohon fatwa secara suka rela mengajukan permohonan fatwa ke Pengadilan Agama. Atas dasar permohonan tersebut, kemudian Ketua Pengadilan Agama menyelesaikan permohonan tersebut. Isi dari fatwa waris adalah menetapkan siapa yang menjadi pewaris dan ahli waris serta menetapkan besarnya bagian masing-masing ahli waris.

Fatwa Waris disinyalir telah dipraktikkan sejak awal eksistensi Peradilan Agama. Sejak keberlakuan Staatsblad 1882 Nomor 152. Atau jauh sebelum itu, yaitu sejak keberlakuan Staatsblad 1835 Nomor 58. Kelestarian fatwa waris ini diakhiri oleh terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Sejak Undang-Undang tersebut disahkan, fatwa waris dihapuskan dan diganti dengan P3HP.

Kedua: P3HP. Pasal 107 angka (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang bunyi utuh pasalnya telah disebutkan pada Bab Latar Belakang, mengamanatkan bahwa penyelesaian perkara waris yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dengan tanpa ada sengketa, dilakukan melalui instrumen P3HP. P3HP menghasilkan produk akta komparisi, bukan sebuah penetapan.

P3HP ini dipraktikkan dalam kurun waktu tahun 1989-2006. Lembaga P3HP kemudian diakhiri oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 berikut penjelasannya menghendaki penyelesaian kewarisan, khususnya yang tidak mengandung sengketa, harus tetap melalui tahap sidang; yang produknya berupa penetapan.

Ketiga: PPAW. Berbeda dengan dua model sebelumnya, PPAW merupakan prosedur penyelesaian kewarisan di luar sengketa yang harus melalui tahapan sidang. Kebenaran dalil-dalil permohonan tidak sekonyong-konyong dibenarkan. Tetap ada serangkaian asas (meski tidak seluruhnya) yang harus ditegakkan dalam pemeriksaan perkaranya. Khususnya penegakan prinsip pembuktian. Lembaga PPAW berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 hingga sekarang.

Jika dicermati secara seksama, transformasi dari fatwa waris ke P3HP, kemudian dari P3HP ke PPAW, pasti memiliki maksud atau tujuan (ghoyah) tersendiri. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa salah satu maksud perlunya ada perubahan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah karena undang-undang tersebut dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Hemat penulis, setidaknya ada tiga spirit yang diusung oleh transformasi dari Fatwa Waris ke P3HP ke PPAW tersebut:

pertama: pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat

Perubahan adalah keniscayaan. Heraclictus, seorang filosof Yunani mengatakan “nothing endures but change” (tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri). Begitu pula zaman, ia akan terus bergeser, terus berubah. Pada gilirannya, kebutuhan hukum masyarakat pun juga akan berubah. Perkembangan peradaban manusia dan perkembangan hukum laksana dua mata uang yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Kaidah fiqh menyatakan laa yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah, wa al-amkinah, wa al-ahwal (tidak dapat diingkari, perubahan hukum terjadi karena perubahan zaman, lokalitas dan situasi sosial).

Hukum selalu berjalan tertatih-tatih di belakang pesatnya perkembangan zaman. Oleh sebab itu, produk hukum terbaik di zaman tertentu, bisa jadi akan usang di masa mendatang. Fatwa Waris, misalnya. Tentu di zaman awal-awal eksistensi peradilan agama adalah produk yang sangat diminati dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Muslim. Begitu juga P3HP. Namun ternyata kebutuhan hukum masyarakat terus berubah.

Kebutuhan penyelesaian perihal kewarisan tanpa sengketa saat ini nyatanya tidak dapat dipenuhi dengan sekedar dengan Fatwa Waris, atau Akta Waris, namun telah menghendaki sebuah produk yang dihasilkan dari pemeriksaan persidangan: Penetapan. Banyak instansi pemerintah maupun swasta yang mensyaratkan penetapan Ahli Waris Pengadilan dalam beberapa pemberian layanannya. Contoh: dalam hal pencairan tabungan atau deposito, pencairan asuransi, pencairan santunan kecelakaan, pencairan dana haji dalam hal nasabah, peserta asuransi, dan jemaah haji meninggal dunia.

Kedua: peningkatan kualitas produk pengadilan

Antara Fatwa Waris, Akta Waris (akta komparisi), dan Penetapan Pengadilan tentu memiliki kekuatan dan prestise yang berbeda. Dari segi diksi penamaan saja, fatwa cenderung mengikuti tradisi fikih yang memungkinkan kepada hakim atau ulama tertentu untuk memberikan fatwa atas kasus yang diajukan kepadanya. Sehingga fatwa tentunya tidak dapat disebut sebagai akta otentik. Sedangkan Akta Waris, secara formil cenderung mengikuti praktek keperdataan Barat yang berlaku pada Notaris. Dalam pembuatan akta komparisi, Ketua Pengadilan Agama terkesan “memposisikan” dirinya sebagai Notaris ketika menetapkan waris dalam bentuk akta komparisi.9 Walau bagaimanana pun akta lebih kuat dibading fatwa. Kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna (volledig) dan mengikat (bindende), namun tidak sampai batas menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingende). Sehingga kekuatan bukti sebuah akta komparisi masih dapat dilemahkan dengan bukti-bukti lain: saksi, persangkaan undang-undang, atau akta-akta lainnya. Di posisi lebih tingginya dari Fatwa Waris dan Akta Waris: Penetapan Pengadilan. Penetapan adalah sebuah produk pengadilan yang dihasilkan dari sebuah pemeriksaan formil dan materiil. Meskipun penetapan merupakan jurisdiction valuntaria (bukan peradilan yang sesungguhnya) karena tidak ada pihak lawan, namun penetapan tetaplah akta otentik yang berlaku mengikat pada pihak yang disebut dalam penetapan. Penetapan hanya dapat dilawan dengan penetapan atau putusan pengadilan lainnya.

Ketiga: produk penetapan kewarisan harus dapat teruji kebenaran formilnya maupun materiilnya

Terdapat dua unsur hukum dalam proses pemeriksaan perkara: fomil dan materiil. Hukum formil diciptakan untuk melindungi hukum materiil. Sebuah pemeriksaan perkara, dalam konteks ini permohonan PAW, dipastikan melewati tahap uji kebenaran formil dan materiil. Sehingga hasil penetapan nantinya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diuji, baik segi formil maupun materiilnya.

Yahya Harahap menjelaskan bahwa upaya untuk melawan sebuah penetapan adalah: 1) gugatan perlawanan pihak ketiga, 2) gugatan perdata (tersendiri), 3) permohonan pembatalan permohonan ke Mahkamah Agung, dan 4) mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Artinya, dibanding dua produk sebelumnya (fatwa dan akta), Penetapan Waris jelas lebih kuat kedudukannya.

Bahkan, dalam perkembangannya, penetapan PAW pun masih terdapat beberapa kritikan. Sugiri Permana, dalam seminar Islamic Law, Democracy and Human Rights, Bandung, 2003, menyimpulkan bahwa Penetapan PAW sudah saatnya ditinggalkan. Berikut ini adalah kesimpulan pendapatnya:

“Sudah saatnya Pengadilan Agama meninggalkan Penetapan dalam menyelesaikan permohonan waris, melainkan mendorong masyarakat yang akan mengajukan permohonan waris untuk terlebih dahulu membuat kesepakatan antara ahli waris. Kesepakatan ini beserta dengan data-data pendukung lainnya (dalam hukum acara dibaca bukti-bukti) diajukan bersama-sama ke Pengadilan Agama dalam bentuk perkara gugatan. Hakim akan “mengukuhkan” kesepakatan tersebut dengan sebuah Putusan Akta Perdamaian acta van dading.”

Benang merah yang dapat ditarik dari seluruh transformasi model penyelesaian waris sebagaimana telah dideskripsikan di atas adalah: konstitusi menghendaki bentuk terbaik (lebih bernilai, lebih berkualitas, dan lebih prestis) serta menghendaki penutupan madharat dalam penyelesaian waris di luar sengketa.

b. Tiga Gelombang Pemikiran

Telah disinggung sebelumnya, setidaknya terdapat 3 (tiga) gelombang pemikiran terkait PPAW yang diketahui permohonannya kurang pihak.

Pertama: dapat dikabulkan, meskipun tidak semua ahli waris yang berhak bertindak sebagai pihak. Mereka yang menyatakan pendapat ini berargumentasi bahwa permohonan PAW bersifat sepihak (ex-parte), tidak mengikat pihak lain. Dalam penetapan pun tidak melekat nebis in idem. Sehingga sah-sah saja, seorang ahli waris ditetapkan sebagai ahli waris dari pewaris, meskipun ada ahli waris lain yang tidak dilibatkan. Toh, nanti jika ada pihak yang keberatan atas penetapan tersebut, dapat mengajukan gugatan terhadap penetapan tersebut. Atau dapat juga mengajukan permohonan penetapan waris tersendiri.

Terdapat kelemahan mendasar dalam pendapat ini. Meski penetapan bersifat ex-parte, namun jika tidak seluruh ahli waris ditetapkan sebagai ahli waris, tentu sangat berpotensi menimbulkan kerugian bagi ahli waris lain. Telah ada beberapa contoh kasus bahwa ternyata pihak yang ditetapkan sebagai ahli waris, mengusai atau menjual sendiri tirkah pewaris, dengan mengabaikan ahli waris lain yang tidak ditetapkan. Jika seandainya ahli waris lain yang tidak ditetapkan sebagai ahli waris tersebut akan mengajukan gugatan atas penetapan tersebut, itu artinya acaranya tidak sederhana, cepat, dan biaya ringan. Padahal sederhana, cepat, dan biaya ringan adalah asas pengadilan. Begitu juga jika seandainya ahli waris lain yang tidak ditetapkan sebagai ahli waris tersebut mengajukan permohonan tersendiri, maka tentu itu berpotensi menimbulkan tafsiran bahwa penetapan pengadilan saling bertentangan. Misalnya, dalam putusan pertama ditetapkan ahli waris A adalah B. Sedangkan di penetapan lainnya, ahli waris A adalah C. Tentu ini mengundang penafsiran berbeda bagi instansi atau pihak di luar pengadilan.

Jika pendapat ini diterapkan, tentu hal tersebut merupakan langkah mundur Pengadilan Agama yang sudah melakukan beberapa transformasi dari fatwa waris, ke akta waris, dan hingga ke penetapan waris. Padahal, salah satu tujuan penetapan hakim adalah yarfa’u al-khilafa; menghapuskan perselisihan; dan juga menutup potensi perselisihan.

Pendapat kedua: dapat ditetapkan, meskipun tidak semua ahli waris yang berhak bertindak sebagai pihak, dengan syarat ahli waris yang tidak bertindak sebagai pihak dicantumkan dalam posita dan petitum permohonan. Pengusung pendapat ini memberikan alasan bahwa hal terpenting dalam penyelesaian waris di luar sengketa adalah kejelasan kedudukan ahli waris dalam posita dan petitum, sehingga tidak merugikan pihak lain. Jika semua ahli waris telah ditetapkan dalam sebuah penetapan, maka potensi sengketa pasca adanya penetapan akan sangat mungkin ditekan.

Meski terkesan lebih sederhana dan mengakomodir kepentingan seluruh ahli waris yang berhak, namun pendapat ini nyata-nyata menyimpangi kaidah hukum perdata. Perkara permohonan bersifat ex-parte (sepihak semata) dan hanya untuk kepentingan sepihak semata (for benefit of one party only). Konsekuensinya, hanya ada satu kategori pihak saja dalam permohonan, yaitu: pemohon. Tidak boleh ada pihak lain, misal: termohon, turut termohon, atau siapa pun dalam sebuah permohonan. Perkara voluntair juga tidak boleh bersentuhan dengan hak dan kepentingan pihak lain.

Berdasarkan sifat ini, maka adanya nama-nama ahli waris lain yang tidak bertindak sebagai pemohon dalam permohonan tersebut jelas tidak dapat dibenarkan untuk dimasukkan dalam dictum atau amar penetapan.

Terlebih lagi, putusan atau penetapan perdata yang dikeluarkan oleh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung bersifat inter partes (hanya mengikat pihak-pihak dalam perkara). Tidak dapat mengikat pihak di luar itu. Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes (mengikat pihak lain dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara). Sehingga menurut sifat permohonan yang ex-parte dan asas inter partes yang berlaku pada putusan Pengadilan Agama, sebuah penetapan pengadilan tidak dibenarkan menentukan hukum atas pihak yang tidak terlibat sebagai pihak dalam perkara. Menentukan hukum terhadap orang yang tidak memohonkan hukum juga berpotensi memantik keberatan dan protes dari pihak tersebut.

Pendapat ketiga: permohonan yang kurang pihak harus dinyatakan tidak dapat diterima karena plurium litis consortium, sehingga mengakibatkan permohonan error in persona. Pendapat ini, menurut hemat penulis adalah pendapat yang paling tepat dan benar, atau setidaknya mendekati ketepatan dan kebenaran.

Sebelum ketepatan dan kebenaran pendapat ketiga tersebut diuji dengan berbagai perspektif (aturan perundang-undangan, tujuan hukum, fungsi hukum, dan asas hukum,) ada baiknya penulis paparkan kenyataan yang pernah ada dalam konteks kurang pihak dalam PPAW ini. Pernah terjadi, seorang cucu meninggal dunia. Cucu tersebut hanya meninggalkan ahli waris:

1) kakek dari garis ayah, 2) nenek dari garis ayah, dan 3) nenek dari garis ibu. Kebetulan tirkah dari sang cucu tersebut cukup besar, lebih dari Rp. 1.000.000.000.- (satu milyar rupiah). Sebatas untuk diingat, dalam kondisi tersebut, maka ahli waris dari si cucu adalah: nenek dari garis ayah dan nenek dari garis ibu (bersekutu dalam 1/6 bagian) dan sisanya untuk kakek dari garis ayah (ashobah). Singkat cerita, pihak nenek dari garis ibu mengajukan PPAW sendirian. Tidak melibatkan pihak kakek dan nenek dari sebelah ayah si cucu. Alasannya, selama ini almarhum cucu tersebut diasuh oleh nenek dari pihak ibu. Kakek dan nenek dari sebelah ayah tidak pernah turut memelihara si cucu tersebut. Sehingga nenek dari sebelah ibu merasa lebih berhak untuk mengajukan PPAW ini untuk kepentingan pencairan tirkah si cucu. Ini mungkin hanya satu dari sekian cerita yang memiliki latar sama. Apakah permohonan PAW yang diajukan oleh nenek dari sebelah ibu tersebut layak dan mashlahat untuk dikabulkan?

Baca juga : 

c. Kurang Pihak dalam PPAW adalah Kecacatan Formil

Kompetensi Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. Waris, c. Wasiat, d. Hibah; e. Wakaf, f. Zakat, g. Infaq, h. Shadaqah, dan i. Ekonomi syari’ah.

Selain melalui lembaga kontensius (gugatan), cakupan kewenangan Pengadilan Agama dalam perkara waris sebagaimana dimaksud pasal 49 tersebut adalah: penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris”. Buku II tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama menyebut dan mengkongkritkan kewenangan perkara waris voluntair yang diamanatkan Penjelasan Pasal 49 tersebut dengan kategori perkara: Permohonan Penetapan Ahli Waris.

Masalah kemudian bergulir pada “apakah seluruh ahli waris yang berhak wajib bertindak sebagai pihak dalam PPAW”?. Untuk menjawab soal tersebut, setidaknya terdapat 4 (empat) tolok ukur yang dapat digunakan untuk menjawabnya:

1. Perspektif aturan perundang-undangan

Sebenarnya, jika dicermati secara seksama, penjelasan Pasal 49 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 sudah memberi isyarat jawaban atas pokok masalah dalam artikel ini. Penjelasan pasal 49 tersebut menyatakan:

“Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing masing ahli waris.”

Kata “penentuan siapa yang menjadi ahli waris” disebut dua kali dalam penjelasan tersebut. Dengan penyebutan yang sama persis. Penyebutan pertama pada konteks perkara gugatan waris (kontensius). Penyebutan kedua dalam konteks permohonan penetapan ahli waris (voluntair). Penentuan siapa yang menjadi ahli waris dalam konteks kontensius (gugat waris), jelas tidak ada tafsir lain selain: “penentuan siapa saja (seluruhnya) yang menjadi ahli waris”.

Lalu untuk perkara voluntair, mengapa harus direduksi menjadi “penentuan [sebagian] siapa yang menjadi ahli waris”? reduksi ini tentu tidak tepat. Makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris” dalam konteks PPAW harus disamakan dengan makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris”. Yakni: “penentuan siapa saja (seluruhnya) yang menjadi ahli waris”. Teks undang-undang telah menafsirkan sendiri atas kehendak makna “penentuan siapa yang menjadi ahli waris”.

Selanjutnya, secara lebih gamblang, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 menyatakan:

“Surat gugatan dalam perkara kewarisan dan permohonan pembagian harta waris menurut hukum Islam harus menempatkan semua ahli waris yang berhak sebagai pihak. Jika tidak, Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk sebelum penetapan majelis hakim, dapat memberi petunjuk untuk memperbaikinya. Apabila tidak diperbaiki, maka perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima” Meski dalam Surat Edaran tersebut menggunakan diksi “permohonan pembagian harta waris”, namun jika pilihan kata tersebut dibaca melalui perspektif buku II, maksud kata tersebut adalah “perkara Permohonan Penetapan Ahli Waris”. Atau setidaknya, dapat dipahami bahwa permohonan penentuan ahli waris adalah bagian dari permohonan pembagian harta waris itu sendiri. Mustahil kiranya sebuah waris dapat ditentukan porsinya, tanpa menetapkan siapa ahli warisnya terlebih dahulu.

Kedua aturan perundang-undangan tersebut, secara jelas menghendaki bahwa seluruh ahli waris yang berhak wajib menjadi pihak dalam sebuah PPAW. Jika tidak, maka permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Perspektif tujuan hukum

Hukum adalah perangkat pengatur agar kehidupan manusia berjalan lancar, tidak saling tubruk, dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Bertolak dari deskripsi tersebut, maka salah satu tujuan hukum adalah kepastian.

Kepastian hukum adalah sebuah jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan baik dan tepat. Dalam konteks ini, menetapkan sebagian ahli waris saja, dengan mengabaikan ahli waris lainnya, tentu memantik ketidakpastian hukum: berpotensi menimbulkan hukum pembagian waris tidak baik dan tepat. Meski peluang bagi ahli waris lain yang tidak ditetapkan sebagai ahli waris untuk mendapat keadilan tetap tersedia, tetapi tentu hal tersbut bertolak belakang dengan spirit kepastian hukum itu sendiri.

3. Perspektif fungsi hukum

Fungsi hukum dalam konteks pembangunan peradaban manusia adalah sebagai media pembaharu dalam kehidupan masyarakat. Roscoe Pound menyebut law as a tool of social engineering. Menurut Pound, hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau tertib hukum. Tetapi juga merupakan proses penyeimbangan antara nilai-nilai dan kepentingan- kepentingan yang saling bertentangan. Proses tersebut akhirnya menciptakan keseimbangan baru, yang membuat masyarakat terekayasa menuju keadaan baru yang lebih baik.

Teori law as a tool of social engineering juga dapat diartikan bahwa hukum adalah sarana untuk merubah perilaku masyarakat dari kondisi kurang baik menuju lebih baik. Dari perilaku yang menyimpangi hukum menuju pranata kehidupan yang sesuai dengan kaidah-kaidah, norma- norma, dan aturan yang berlaku yang telah ditetapkan. Atau bahkan dapat juga berfungsi sebagai media preventif-antisipatif untuk menghindari penyimpangan norma.

Penetapan pengadilan dalam PPAW, sebagai salah satu bagian dari hukum itu sendiri, juga harus memposisikan dirinya sebagai a tool of social engineering. Penetapan pengadilan harus mampu menjadi patron bagi penyelesaian kewarisan dengan tanpa sengketa. Segala catatan buruk tentang adanya ahli waris bertindak menguasai sendiri, bahkan menjual sendiri tirkah pewaris, padahal masih ada ahli waris lain yang berhak, tentu harus diperbaiki oleh hukum. Hukum harus mencegah penyimpangan demi penyimpangan tersebut. Untuk tujuan itu, maka cara yang paling efektif adalah menetapkan seluruh ahli waris yang berhak sebagai ahli waris. Tidak boleh ada hak ahli waris lain yang terlewatkan haknya.

4. Perspektif asas hukum

Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya”. Itulah asas penyelenggaraan peradilan. Konstitusi menghendaki peradilan tidak boleh diselenggarakan dengan bertele-tele, lambat, dan biaya tinggi.

Sederhana, cepat, dan biaya ringan tidak hanya diukur dari satu sudut kepentingan. Dalam konteks artikel ini: kepentingan sebagian ahli waris yang menghendaki penetapan pengadilan dengan mengabaikan kepentingan ahli waris lainnya. Asas tersebut harus dimaknai secara integral-komperehensif. Menetapkan sebagian ahli waris dengan mengabaikan ahli waris yang berhak lainnya justru membuat peradilan itu akan panjang dan berlarut, memakan waktu lama, dan tentu berbiaya tinggi. Bayangkan saja jika masing-masing ahli waris mengajukan permohonannya sendiri-sendiri. Belum lagi jika ada ahli waris yang tidak ditetapkan mengajukan perlawanan dengan gugatan baru. Tentu ini tidak linear dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

d. Tindakan Ideal Hakim

Meski nyata-nyata sebuah permohonan PAW diketahui kurang pihak, tidak serta-merta hakim harus menjatuhkan putusan tidak dapat diterima (NO). Ada langkah ideal yang seyogyanya ditempuh guna mengurai permasalahan yang kadung terjadi. Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tegas menyatakan ”pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.

Sebagai kongkritisasi dari norma umum tersebut, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, menyatakan “Surat gugatan dalam perkara kewarisan dan permohonan pembagian harta waris menurut hukum Islam harus menempatkan semua ahli waris yang berhak sebagai pihak. Jika tidak, Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk sebelum penetapan majelis hakim, dapat memberi petunjuk untuk memperbaikinya”. Surat Edaran tersebut, meski tidak mewajibkan, telah memberi petunjuk tentang legalitas hakim untuk memberikan advis perbaikan permohonan PAW yang kurang pihak, yaitu dengan merubah permohonan dengan menjadikan seluruh ahli waris yang berhak sebagai pihak.

Meski dalam Surat Edaran tersebut disebut bahwa perbaikannya dilakukan sebelum adanya PMH (Penetapan Majelis Hakim), namun dalam praktik, arahan perbaikan permohonan justru lebih memungkinkan dan lebih efektif untuk dilakukan dalam persidangan, pada tahap pembacaan permohonan. Kedua teknik advis perbaikan permohonan tersebut, hemat penulis, sama-sama legal untuk dipraktikkan. Sifat pemberian advis tersebut, bukan hanya dapat (mubah), tapi sudah anjuran (sunnah). Demi terciptanya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Kesimpulan

Setiap transformasi pasti ada spirit yang melatari. Spirit yang terbaca dalam transformasi Fatwa Waris ke P3HP dan dari P3HP ke PPAW adalah: 1) pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat, 2) peningkatan kualitas produk pengadilan, 3) produk pengadilan harus teruji kebenaran formilnya maupun materiilnya.

Terdapat tiga gelombang pendapat terkait dapat atau tidaknya sebuah PPAW yang kurang pihak untuk dikabulkan. Pendapat terkuat, menurut perspektif aturan perundang-undangan, tujuan hukum, fungsi hukum, dan asas hukum adalah: PPAW yang kurang pihak harus dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaart (NO).

Namun demikian, hukum tidak boleh bersifat kaku dan arogan. Jika ternyata sebuah permohonan diketahui kurang pihak, maka ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk seyogyanya memberi advis perbaikan permohonan. Perbaikan dapat dilakukan sebelum adanya penetapan majelis hakim atau dalam persidangan (saat pembacaan permohonan). Sifat pemberian advis tersebut, bukan hanya dapat (mubah), tapi sudah anjuran (sunnah). Demi terciptanya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Jika ternyata advis tersebut diabaikan, barulah hakim secara tegas menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena plurium litis consortium.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Ali, Z. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Amiruddin & Asikin, Z. Pengantar Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Rajawali Press, 2010. Donald Albert Rumokoy, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2014.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-12, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Sarwohadi, S.H., M.H., Penetapan Ahli Waris dan P3HP/Permohonan Pertolongan Pembagian Hartapeninggalan, artikel, 14 Agustus 2017.

Sugiri Permana, Sudah Saatnya Penetapan Ahli Waris Ditinggalkan (tinjauan futuristik acta van dading terhadap kesetaraan hak waris), artikel, disampaikan dalam Seminar on Islamic Law, Democracy and Human Rights, Bandung tanggal 28 November 2013.

 

 

Penulis : Ahmad Z. Anam
(Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Mentok)